Jakarta – Masjid Istiqlal dibangun bersebelahan dengan Gereja Katedral di Jakarta. Di balik lokasi dua rumah ibadah ini, ada alasan historis dari kedua tokoh pendiri bangsa tersebut.
Gereja Katedral di Jalan Katedral dibangun sebelum Masjid Istiqlal. Pembangunan katedral ini dirancang dan dimulai oleh Pastor Antonius Dijkmans dan peletakan batu pertama dilakukan oleh Provicaris Carolus Wennker.
Menurut situs resmi Gereja Katedral Jakarta, pekerjaan ini kemudian dilanjutkan oleh Cuypers-Hulswit ketika Dijkmans tidak dapat melanjutkan, untuk diresmikan pada tanggal 21 April 1901 oleh Mgr. Edmundus Sybradus Luypen, SJ, Vikaris Apostolik Jakarta.
Sedangkan Masjid Istiqlal baru dibangun setelah Indonesia merdeka. Tepatnya pada tahun 1961 di atas bekas benteng Belanda Frederick Hendrik dan Taman Wilhelmina.
Sebelum pembangunan, sempat terjadi perdebatan antara dua tokoh pendiri bangsa, yaitu Ir. Soekarno dan Moh. Hatta tentang lokasi pembangunan Masjid Istiqlal.
Melansir dari website Jakarta Islamic Center, terdapat perbedaan pendapat terkait rencana lokasi pembangunan Masjid Istiqlal. Moh. Hatta saat itu berpendapat bahwa lokasi yang paling tepat untuk pembangunan Masjid Istiqlal adalah di Jl. Moh. Husni Thamrin (sekarang menjadi lokasi Hotel Indonesia).
Menurut Wakil Presiden pertama Indonesia, lokasi Jl. Moh. Husni Thamrin berada di komunitas Muslim. Saat itu juga belum ada bangunan di atasnya.
Berbeda dengan Ir. Soekarno, beliau mengusulkan lokasi pembangunan Masjid Istiqlal di Taman Wilhelmina, yang di bawahnya terdapat reruntuhan benteng Belanda. Lokasinya dikelilingi oleh gedung pemerintahan dan pusat perdagangan serta dekat dengan Istana Merdeka.
Hal ini sesuai dengan lambang kekuasaan keraton di Jawa dan daerah lain di Indonesia bahwa masjid selalu berdekatan dengan keraton.
Pendapat Moh. Hatta akan lebih efisien karena tidak mengeluarkan biaya penggusuran bangunan di atas dan di sekitar lokasi. Namun, setelah melalui musyawarah, lokasi pembangunan Masjid Istiqlal akhirnya ditentukan di Taman Wilhelmina, bekas benteng Belanda.
Selain lambang kekuasaan keraton di Jawa, dimana masjid selalu berdampingan dengan keraton, Ir. Soekarno punya alasan lain soal masjid terbesar di Asia Tenggara itu.
Saat itu, Gereja Katedral telah berdiri dengan bangga di Jalan Katedral. Soekarno memutuskan untuk membangun sebuah masjid di seberangnya untuk menunjukkan kerukunan dan kerukunan hidup beragama di Indonesia.
Tak hanya berdampingan, terdapat terowongan penghubung antara dua rumah ibadah ini yang disebut Terowongan Silaturahmi. Terowongan Temu dibangun sejak 15 Desember 2020 yang diawasi oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Gathering Tunnel dibangun dengan panjang terowongan 28,3 meter, tinggi 3 meter, lebar 4,1 meter dengan luas terowongan total 136 m2 dengan luas total 226 m2 untuk shelter dan terowongan. Jarak terdekat dari pintu masuk terowongan ke Gereja Katedral Jakarta adalah 32 m, hal ini untuk menjamin keamanan struktur katedral. Sedangkan jarak terdekat dari terowongan ke pintu gerbang Masjid Istiqlal adalah 16 m.
Gathering Tunnel ini terhubung dengan basement parkir di lantai 1 Masjid Istiqlal yang mampu menampung 500 mobil. Dalam situs resmi PUPR, diharapkan lahan parkir ini dapat digunakan bergantian pada hari Jumat untuk jemaah Masjid Istiqlal dan pada hari Minggu untuk jemaah Gereja Katedral.
Arsitektur terowongan ini dibangun dengan gaya modern dengan eksterior transparan. Dengan demikian, desain Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta yang merupakan bangunan cagar budaya tidak terhalang. Sedangkan interior dibuat sejajar dengan interior Masjid Istiqlal menggunakan marmer.