Saat ini, suku Bajo menjadi perbincangan hangat netizen setelah James Cameron, sutradara film Avatar: The Way of Water mengungkapkan bahwa salah satu suku di Indonesia menjadi inspirasi terciptanya Suku Metkayina.
Melansir National Geographic, Cameron mengatakan dia melakukan penelitian dan meneliti budaya suku-suku yang hidup berdampingan dengan laut. Salah satu inspirasinya ternyata berasal dari suku-suku yang berasal dari Indonesia, yaitu Suku Bajo atau dikenal dengan Suku Bajau dan Suku Sama.
Klan Metkayina dalam film Avatar: The Way of Water. Foto: Studio Abad ke-20
“Ada (orang Sama-Bajau), orang di Indonesia yang tinggal di rumah panggung dan hidup di atas rakit. Kami melihat hal-hal seperti itu,” kata Cameron.
Menurut situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, suku Bajo merupakan etnis asal Asia Tenggara yang memiliki ciri bahari yang cukup kental. Konon katanya berasal dari Kepulauan Sulu Filipina yang biasa disebut Suku Bajau atau Suku Sama.
Di Indonesia, Suku Bajo dapat ditemukan di sekitar perairan Sulawesi, Kalimantan Timur, Maluku, Nusa Tenggara, hingga pesisir timur Sabah (Malaysia).
Rumah-rumah suku Bajo kebanyakan berdiri di tepi pantai atau di perairan laut yang dangkal dengan tiang pancang yang dipasang untuk melindunginya dari gelombang pasang. Dinding rumah terbuat dari kayu dan atapnya terbuat dari rumbia.
Karena hidup di perairan laut, maka keseharian suku Bajo ditunjang oleh transportasi air berupa perahu. Selain sebagai alat transportasi, perahu juga digunakan oleh masyarakat Bajo untuk mencari nafkah.
Karena sangat dekat dengan laut, mata pencaharian mayoritas Suku Bajo adalah nelayan. Mereka berburu ikan dengan berbagai cara, mulai dari memancing, jaring hingga memanah dengan tongkat kayu dan anak panah atau tombak. Panahan merupakan keahlian andalan masyarakat Bajo.
Taharudin adalah salah satu dari sejumlah nelayan yang memiliki keahlian menangkap ikan di bawah laut dengan menggunakan tongkat kayu dan anak panah. Saat berburu ikan, Taha hanya membawa kacamata tradisional bawah air yang terbuat dari kayu, sirip ciptaannya sendiri untuk melindungi sol dari karang yang tajam dan alat tangkap yang terbuat dari kayu, besi tajam untuk anak panah dan karet untuk melempar anak panah.
Taha biasanya pergi memancing di pagi hari, saat air laut surut dan pulang saat air laut mulai naik. Waktu mencari ikan ditentukan karena air laut cenderung tenang pada saat surut dan mulai mengalir pada saat air pasang, yang tentunya menyulitkan untuk berenang di kedalaman.
Ikan yang dicari Taha hanya ikan berukuran besar, seperti ikan kerapu, tongkol, gurita, baronang atau tongkol yang ukurannya bisa setengah dari tubuh Taha. Saat berburu ikan, Taha bisa menyelam dan menyelinap di antara terumbu karang.
Dia berenang sangat lambat agar tidak ditangkap ikan. Taha biasanya berburu hingga kedalaman hingga 20 meter untuk mencari ikan atau sekadar berjalan pelan di atas pasir putih yang membentuk dasar laut dangkal.
Taha pergi ke laut setiap hari. Biasanya, dia pulang membawa lima sampai tujuh ekor ikan besar. Jika beruntung ia bisa menangkap ikan tuna seberat 50 kilogram dengan menembaknya di laut.
Dari hasil tangkapan, sebagian ikan diolah oleh keluarga untuk makan malam dan keesokan harinya. Kemudian sisanya dibawa ke pasar ikan untuk dijual.
Suku Bajo lahir dan dibesarkan di laut. Tidak heran mereka memiliki adaptasi dengan kehidupan laut.
Anak-anak Suku Bajo sudah pandai berenang dan tumbuh tanpa menghabiskan waktu seharian berenang di laut. Tumbuh besar di laut membuat orang Bajo memiliki kemampuan tersendiri yang dihasilkan dari adaptasi tubuh.
Nelayan pemanah di Suku Bajo bisa bertahan hidup di bawah laut hingga 13 menit tanpa bantuan alat bantu pernapasan. Orang biasa umumnya hanya bisa menahan napas di bawah air selama kurang lebih satu menit.
Sehingga Suku Bajo mendapatkan julukan sebagai manusia laut.